Sabun Cair atau Batang?

Sejak kecil aku selalu pakai sabun batang, soalnya dikasihnya itu sama ibuku. Belakangan aku menyadari kalau banyak teman-temanku yang pakai sabun cair. Sebenarnya lebih baik mana ya di antara dua jenis sabun ini? Setelah bertanya ke orang yang paham, jawabannya seperti biasa, masing-masing ada kelebihan dan kekurangan. Namun kesimpulan yang aku dapat, sabun batang masih relatif lebih bagus jika dibandingkan dengan sabun cair. Alasan utamanya adalah karena sabun batang dibuat dengan NaOH (Sodium Hidroksida) sedangkan sabun cair dibuat dengan KOH (Potasium Hidroksida). Pokoknya, dari yang aku tangkap, kalau NaOH dapat mengikat molekul air dan kotoran, sehingga kedua-duanya pergi dari tubuh kita. Kalau KOH itu mudah sekali larut dalam air, jadi sabunnya larut duluan dalam air sebelum mengingat kotoran. Begitu lah kurang lebih. Tapi kedua-duanya sama-sama bagus kok. Tapi ya itu tadi. Tapi keduanya sama-sama bagus kok. 

Dropbox Lahir Karena Flashdisk yang Tertinggal

Kredit: cloudstorageboss.com

 

Saat berada di halte dan sedang menunggu bus di Boston, Drew Houston membuka laptopnya untuk menyelesaikan pekerjaannya sambil menunggu bus. Namun saat menghidupkan komputernya, dia baru sadar kalau flashdisk-nya tertinggal di meja kerjanya di rumah. Dia kemudian tetap bekerja dengan membuat kode walaupun dia tidak tahu mau menulis kode tentang apa.

Nah, ternyata dari situ jadilah pondasi yang akhirnya menjadi Dropbox, pelayanan penyimpanan file berbasis awan yang memungkinkan penggunanya untuk mengakses dan membagikan file-file, foto, video lewat hampir semua perangkat komputer atau telepon.

Kredit: statista.com
Pertumbuhan Pengguna Dropbox

Pada Juni 2007, Houston telah merintis perusahaan dengan teman kuliahnya di MIT, Arash Ferdowsi. Meskipun Houston telah lulus, namun Ferdowsi belum dan memutuskan untuk drop out pada semester-semester akhirnya demi proyek Dropbox ini. Mereka bekerja di sebuah kantor kecil di Cambridge dari siang sampai pagi setiap hari.

Saat ini Dropbox telah memiliki lebih dari setengah miliar pengguna di seluruh dunia dan pendapatannya telah menembus $1 miliar atau lebih dari Rp10 triliun rupiah dengan valuasi sebesar $10 miliar.

Telepon Pintar untuk Mendeteksi Anemia

Oleh Will Knight.

MIT Technology Review  Sensor dan komputer di dalam telepon pintar (smartphone) biasa digunakan untuk diagnosis dan alat pendeteksi medis portabel berbiaya rendah.

Pada tempat-tempat di mana perlengkapan medis masih belum mencukupi, telepon pintar dapat menjadi alat yang sangat diperlukan.

Sebuah cara baru untuk mendeteksi anemia yakni suatu kondisi yang disebabkan karena kurangnya sel darah merah yang membawa oksigen, menggunakan bayangan dari kamera telepon pintar. Perangkat seperi ini dapat digunakan untuk menyediakan peringatan dini dari suatu penyakit tanpa membutuhkan peralatan mahal atau kunjungan ke rumah sakit.

Para peneliti di Universitas Washington akan menunjukkan teknik sederhana untuk mendeteksi anemia menggunakan sebuah telepon pintar dan sebuah sumber cahaya pada konferensi mendatang bulan ini. Percobaan mereka mengindikasikan tingkat akurasinya menyaingi alat test anemia yang telah disetujui FDA. Teknologi ini dikembangkan di laboratorium Shwetak Patel, seorang profesor dari Departemen Teknik Elektro di universitas tersebut (lihat “Innovators Under 35, 2009: Shwetak Patel”).

Anemia yang dapat disebabkan oleh malnutrisi atau infeksi parasit, adalah hal yang sangat lumrah di negara-negara berkembang. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa sekitar dua juta orang di seluruh dunia menderita anemia. Gejala anemia di antaranya seperti pusing, kelelahan, dan sakit kepala berat. Mereka dengan kondisi kronis, seperti anemia sel sabit, perlu untuk diawasi secara konstan, biasanya dengan tes darah yang berulang-ulang.

Profesor Patel sedang mengeksplorasi berbagai macam cara untuk memanfaatkan sensor pada telepon pintar agar tes kesehatan sederhana ini menjadi lebih mudah diakses. Dia juga mengembangkan aplikasi lain yang memanfaatkan mikropon dari perangkat ini untuk mendeteksi nafas seseorang saat mereka tertidur, dan aplikasi lain yang dapat mendeteksi penyakit kuning pada bayi yang baru lahir menggunakan kamera telepon pintar dan kartu referensi berkode warna. Semua sistemnya berjalan pada algoritma machine-learning untuk mengenali gejala-gejala yang terbaca oleh sensor.

hemaapp-results
Aplikasi ini menyediakan pengukuran kadar hemoglobin

Profesor Patel dan rekannya menemukan bahwa kamera pada Nexus 5 dapat mengukur kadar hemoglobin dengan cara menangkap sinar yang telah melewati jari seseorang. Sistem ini merekam video sebagai sinar dari lampu flash, sebuah rangkaian LED kecil tambahan, dan lampu pijar (bohlam) yang menyinari ujung jari. Sistem ini diuji untuk mengenali perubahan warna darah saat mengalir pada jari yang dapat mengindikasi akan adanya kekurangan sel darah merah.

Pada uji coba yang dilakukan terhadap 31 orang yang merupakan kerja sama dengan Rumah Sakit Anak Seattle, ditemukan bahwa sistem baru ini bekerja sebaik tes anemia berbasis LED komersial, Masimo Pronto. Biarpun belum mendekati akurasi dari tes darah konvensional.

hemaapp-illumination
Flash pada telepon pintar akan menyinari jari. Hal ini membuat HemaApp dapat mengukur kadar hemoglobin.

 

Ulrich Timm, seorang profesor dari Universitas Rostock di Jerman yang telah mempelajari penggunaan sistem deteksi berbasis LED untuk mendeteksi hemoglobin, mengatakan bahwa teknologi ini akan memiliki banyak pemanfaatan dan diharapkan mampu bekerja sebaik mungkin. “Sistem semacam ini akan sangat berguna untuk pusat donasi darah atau rumah perawatan.” katanya.”Wanita hamil dapat mengawasi kadar hemoglobinnya tanpa perangkat tambahan.” Namun, Timm juga mempertanyakan akan seberapa akurat pendekatan ini pada praktiknya, mengingat resolusi yang spektral dari sebagian besar kamera telepon pintar.

Caroline Buckee, seorang asisten profesor sekaligus epidemiologis dari Harvard yang mempelajari bagaimana perangkat mobile akan digunakan untuk dunia kesehatan di dunia (lihat “Innovators Under 35, 2013: Caroline Buckee”), mengatakan sistem tersebut lumayan meyakinkan, namun perlu diketahui bahwa tidak selalu sederhana untuk menyebarkan dan memperbesar skala dari solusi semacam itu. Dia pun setuju bahwa tingkat akurasi akan menjadi perhatian utama.

“Ada suatu persoalan yakni penetrasi telepon pintar.” Buckee berujar. “Meskipun penggunaannya akan tetap dimanfaatkan di banyak tempat di mana ada penetrasi telepon pintar yang tinggi dan terdapat banyak penderita anemia, seperti India; komunitas pekerja kesehatan dapat menggunakannya pada wilayah-wilayah tanpa penetrasi telepon pintar yang tinggi di daerah pedalaman di mana banyak orang menderita anemia, seperti Afrika Barat.”

Tulisan asli: How to Make a Smartphone Detect Anemia

Diterjemahkan oleh: Waldst

Berwajah Robot, Bersuara Bidadari?

MIT Technology Review  Penggunaan jaringan saraf tiruan oleh DeepMind untuk melakukan sintesis cara bicara pada akhirnya dapat membuat komputer menjadi bersuara layaknya manusia.

Terakhir kali Anda mendengarkan komputer mengubah teks menjadi suara, boleh jadi terdengar kaku. Divisi machine-learning milik Google, DeepMind, telah mengembangkan sebuah sistem yang dapat menyintesis suara menggunakan inteligensia buatan yang mereka perkirakan akan memperbaiki keadaan.

Memiliki komputer yang dapat menghasilkan suara (manusia) bukanlah ide baru. Mungkin pendekatan yang paling umum dan sederhana adalah menggunakan banyak sekali pilihan-pilihan suara yang telah direkam sebelumnya dari suara seseorang. Dalam sebuah teknik yang bernama sintesis concatenative, suara-suara tersebut digabungkan agar diperoleh suara, kata-kata, dan kalimat yang lebih kompleks. Itulah mengapa banyak sekali suara-suara/kata-kata yang dihasilkan komputer acap kali mengalami ketidaktentuan, perubahan aneh pada intonasi, dan pengucapan yang tersendat.

Pendekatan yang lain adalah menggunakan model matematika untuk menghasilkan kembali suara yang dikenali yang kemudian dikumpulkan menjadi kata-kata dan kalimat. Walaupun hasilnya cenderung lebih baik, namun pendekatan yang biasa disebut dengan pendekatan parametric ini menghasilkan suara seperti robot. Pendekatan berikutnya menggabungkan kedua pendekatan sebelumnya dengan cara “menyulam” menjadi satu kesatuan suara, bukannya membuat keseluruhan gelombang audio dari guratan-guratan suara.

12-compressor
Kredit gambar: DeepMind

Inilah pendekatan yang DeepMind lakukan. Jaringan saraf tiruan konvolusional dari WaveNet didapat dengan cara mengumpankan potongan-potongan suara asli manusia, bersamaan dengan fitur-fitur kebahasaan dan fonetik sehingga dapat diidentifikasi pola yang berhubungan keduanya. Pada penggunaannya, sistem ini difungsikan dengan fitur-fitur baru dari suara yang dihasilkan dari kalimat/tulisan, kemudian sistem membuat gelombang suara awal. Sistem melakukannya secara bertahap, pertama menghasilkan sampel gelombang suara baru kemudian melakukan tahap berikutnya. Pada setiap tahapnya sistem akan memanfaatkan informasi sampel yang telah dibuat untuk kelancaran tahap selanjutnya.

blogpost-fig2-anim-160908-r01
Kredit gambar: DeepMind

Hasilnya, suara menjadi menawan dan lebih meyakinkan, Anda dapat mendengarkannya sendiri di sini.

Dibandingkan dengan pendekatan concatenative dan parametric, pendekatan ini terdengar lebih seperti suara manusia.

Meskipun begitu, tetap ada yang namanya pengorbanan. Teknik ini membutuhkan tenaga komputasional yang sangat besar. Karena WaveNet harus membuat keseluruhan bentuk gelombang dan harus menggunakan jaringan neuralnya  untuk memproses agar dihasilkan 16.000 sampel untuk setiap detik dari audio yang akan dibuat (dan meskipun begitu, suara yang dihasilkan hanya setara dengan kualitas suara yang dikirim melalui panggilan telepon atau VoIP). Menurut seorang sumber dari DeepMind yang mengatakan kepada Financial Times (paywall), kesimpulannya metode ini belum akan digunakan pada produk Google manapun untuk saat ini.

Sudah begitu, hal ini bukanlah satu-satunya masalah kebahasaan yang dihadapi oleh komputer. Menerjemahkan ucapan dan kalimat tertulis juga merupakan hal yang sangat sulit untuk sistem inteligensia buatan. Paling tidak pada saat sekarang ini ketika komputer dapat melakukan hal-hal yang diperlukan untuk menghasilkan pemikiran-pemikiran cerdas atau melakukan hitungan-hitungan rumit, mereka juga mampu  untuk mengomunikasikannya kepada kita dengan baik.

Ditulis oleh: Jamie Condliffe

Tulisan asli: Face of a Robot, Voice of an Angel?

Diterjemahkan oleh: Waldst

Kecepatan Cahaya atau Kelajuan Cahaya?

Dalam rumus E=mc², c adalah suatu besaran yang memiliki nilai konstan yaitu ≈ 3.00×10m/s. Menurut teman-teman, manakah istilah yang lebih tepat untuk mendeskripsikan tersebut? Kecepatan cahaya atau kelajuan cahaya? Saya sendiri lebih sering mendengar istilah yang pertama daripada yang kedua. Begitu juga saat saya coba mencari kedua istilah tersebut di Google. Saat kita mengetikkan “kecepatan cahaya” akan ada sebanyak 1.670.000 hasil, kemudian kalau kita coba mengetikkan kata kunci yang kedua “kelajuan cahaya” ternyata hasil yang ditemukan hanya sekitar 184.000, kira-kira 1/10 dari istilah yang pertama. Ini mengindikasikan bahwa istilah “kecepatan cahaya” cenderung lebih populer dan diterima oleh masyarakat.

Untuk mengetahui istilah mana sebenarnya yang benar, kita tentu perlu berurusan dulu dengan perbedaan antara kecepatan dan kelajuan. Seperti yang kita ketahui, kecepatan (velocity) adalah perbandingan antara jarak dengan waktu tempuh suatu benda yang memiliki arah. Sedangkan kelajuan (speed) adalah kecepatan yang tidak memiliki arah tertentu.

Lalu apa bedanya kecepatan dengan kelajuan cahaya? Mari kita bermain dengan perumpamaan. Bayangkan kita ada di dalam pesawat jet dalam perjalanan dari New York mau ke Purwokerto. Nah kebetulan di dalam pesawat jet tersebut terdapat satu lapangan bulu tangkis. Untuk menghindari rasa bosan dalam pesawat karena tak kunjung sampai, teman-teman menantang saya untuk bermain, ya otomatis saya ladeni. Posisi saya ada di depan (dekat pilot) dan posisi teman-teman ada di belakang. Saat pesawat jet melaju dalam kecepatan konstan (terserah mau 2.500 km/jam, mau 3.000 km/jam atau  whatever yang penting konstan), maka kita akan merasakan seperti bermain di lapangan biasa di daratan. Namun saat pesawat jet melambat karena mau transit di Dubai, maka teman-teman akan mendapat lebih banyak poin karena walaupun kelajuan kok (relatif) tetap sama namun kecepatan bola/kok (relatif) berubah menjadi lebih cepat ke arah saya . Selama transit kita tetap lanjut main nih, malah saat pesawat sudah mau terbang lagi pun kita masih main. Nah, ketika pesawat mulai memacu kecepatan dari 0 menjadi 3.000 km/jam, giliran saya yang mendapat lebih banyak poin karena walaupun kelajuan kok (relatif) sama seperti sebelumnya namun kecepatan kok (relatif) berubah menjadi lebih cepat ke arah teman-teman.

Ini hampir sama seperti saat teman-teman sedang melakukan perjalanan dengan kereta kemudian teman-teman mencoba menuangkan kopi ke dalam cangkir di pangkuan teman-teman. Saat kereta berhenti atau berjalan pada kecepatan berapapun asal konstan, teman-teman tidak akan mengalami kesulitan dalam menuangkannya. Namun saat kereta tiba-tiba melambat dari yang tadinya pada kecepatan yang sangat tinggi menjadi lambat, kopi akan tumpah ke arah lantai di depan teman-teman. Begitu juga saat kereta tiba-tiba memacu kecepatannya menjadi kecepatan maksimal dari yang tadinya lambat, maka kopi akan tumpah ke arah baju / perut teman-temen.

Dari contoh-contoh tersebut, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kecepatan cahaya kurang tepat dipakai sebagai istilah untuk mewakili nilai konstanta atau seberapa cepat cahaya itu bergerak, karena kecepatan cahaya (velocity of light) akan konstan hanya pada kondisi kerangka inersia (keadaan konstan) dan akan selalu berubah-ubah pada kerangka inersia spesial (keadaan tidak konstan). Sedangkan kelajuan cahaya (speed of light) akan selalu konstan bagaimanapun kondisi yang dilewati.

Sehingga istilah yang tepat untuk menggambarkan konstanta (≈ 3.00×108 m/s) adalah kelajuan cahaya.

Investigation: Pembajakan Konten Digital

Dulu ketika pertama kali berada di toko komputer, saya ditanya apakah mau instal OS sendiri atau membeli yang asli. Saya yang saat itu belum tahu banyak cuma berfikir mungkin yang asli lebih baik. Dan saat penjaga toko sudah membawa disc OS tersebut, pelanggan-pelanggan lain di kiri-kanan saya menyarankan untuk tidak memakai yang asli, akan sama saja katanya. Bahkan si penjaga toko pun menanyakan beberapa kali lagi apakah akan tetap membeli OS yang asli, seolah-olah dia akan lebih untung jika saya tidak membeli OS asli tersebut. Memang, dalam hati saya juga mengatakan kalau bisa gratis ya yang gratis saja. Tapi mengapa pemahaman masyarakat di Indonesia (saya termasuk masyarakat Indonesia) menjadi sedemikian pro akan pembajakan? Sekarang mari kita usut masalah bajak-membajak ini tentunya dalam lingkup yang lebih luas yang juga mencakup konten-konten lain seperti film, musik dan game, dsb.

5W+1H:
1. What: Penggunaan konten-konten digital non asli.

2. Who:
a. Masyarakat yang ekonomis.
b. Masyarakat yang kurang peduli pada hak cipta.

3. Where: Indonesia (focused).

4. When: Saat ini.

5. Why:
a. Karena ada konten lain dengan fitur sama yang lebih murah bahkan gratis.
b. Mudahnya akses pada hal-hal semacam ini.
c. Minim penegakan hukum pada pelanggar.

6. How: Banyak modus.

Solusi: Mungkin akan sulit untuk menghentikan kasus pembajakan di Indonesia, namun beberapa solusi yang bisa dilakukan adalah
1. Go opensource
2. Meningkatkan penghasilan masyarakat.
3. Mengurangi / menghapus konten bajakan yang ada.
4. Memblokir akses kepada situs-situs penyedia konten bajakan.
5. Memperketat penegakkan hukum.
6. Menggratiskan konten yang asli.

CASE RESOLVED

NB: Ditulis dalam Ms. Word bajakan yang dijalankan pada Windows non-genuine. Astaghfirulloh.

Internet = No Privacy

Selamat datang kembali temen-temen, topik kita kali ini adalah kejahatan di internet. Ada banyak sekali kejahatan di internet seperti penipuan, cracking dsb, tapi yang menjadi fokus kita kali ini adalah tentang privasi kita di internet. Sudahkah kita mengerti bahwa setiap data yang kita unggah ke internet entah itu di media sosial atau media lainnya, tidak akan hilang dari internet meskipun kita sudah menghapusnya bahkan dengan menghapus akun kita sekalipun? Data kita tersebut kemudian dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingan yang tidak kita inginkan.

Bukan illuminati lho ya gambar:http://wpuploads.appadvice.com/
Bukan illuminati lho ya gambar:http://wpuploads.appadvice.com/

Jangankan privasi kita di internet, suara presiden dalam telepon yang sudah dijamin super aman saja bisa bocor. Kita ambil contoh yang dekat saja. Kita sering melihat atau bahkan membuat kiriman semacam ini di facebook atau media sosial lain:

“Otw ke Puncak nih, alhamdulillah satu keluarga ikut semua, ruame bener dah ckck
#holiday #family #vscocam” (dengan foto groufie khas bibir monyong di dalam mobil)

atau

“Aduh motor gua mogok nih di jakal, mana jalan udah sepi banget lagi huftt :(“

Apakah saat membuat status tersebut, kita tidak pernah berpikir: Bagaimana kalau ada maling profesional atau begal motor paling sadis yang sedang ‘kelaparan’ juga ikut membaca status kita?

Siapa di belakang sana? gambar:http://www.onlinesocialmedia.net/
Siapa di belakang sana? gambar:http://www.onlinesocialmedia.net/

Banyak kejahatan-kejahatan yang tidak terduga terjadi di sekitar kita dan disebabkan karena ketidaktahuan atau kesalahan kita sendiri. Bukan hanya itu, menulis sesuatu yang tidak pantas di internet pun dapat memunculkan dampak yang buruk bahkan bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga banyak orang. Belum lupa kasus Florence kan?

Think again gambar:http://dailytrojan.com/
Think again gambar:http://dailytrojan.com/

Nah, oleh sebab itu kita seharusnya lebih bijak dalam beraktifitas di internet khususnya di media sosial. Jangan mengumbar informasi yang tidak perlu, apalagi yang bersifat privat; Tidak mengumbar emosi setiap kali ada masalah ke media sosial; Kalau mau bermesraan dengan pasangan sebaiknya bertemu langsung, bukan di media sosial penulis gak ngiri kok, sueer; Tidak menghina orang lain apalagi menyebarkan hal negatif dsb. Intinya sih tidak melakukan hal yang tidak pantas, gitu aja.
Ok, sekian dulu temen-temen. Maaf kalau ada kata-kata yang salah.